Rabu, 28 Mei 2014

Rumaisha Ummu sulaim binti malhan (Kemuliaan yang dicarinya , kemuliaan yang dipegang teguhnya)








Beliau adalah seorang wanita yang memiliki sifat keibuan dan cantik, dirinya dihiasi pula dengan ketabahan, kebijaksanan, lurus pemikirannya, dan dihiasi pula dengan kecerdasan berfikir dan kefasihan serta berakhlak mulia, sehingga nantinya cerita yang baik ditujukan kepada beliau dan setiap lisan memuji atasnya. Karena beliau memiliki sifat yang agung tersebut sehingga mendorong putra pamannya yang bernama Malik bin Nadlar untuk segera menikahinya. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah Anas bin Malik, salah seorang shahabat yang agung. Tatkala cahaya nubuwwah mulai terbit dan dakwah tauhid muncul sehingga menyebabkan orang-orang yang berakal sehat dan memiliki fitrah yang lurus untuk bersegera masuk Islam. Ummu Sulaim termasuk golongan pertama yang masuk Islam awal-awal dari golongan Anshar. Beliau tidak mempedulikan segala kemungkinan yang akan menimpanya didalam masyarakat jahiliyah penyembah berhala yang telah beliau buang tanpa ragu. Adapun halangan pertama yang harus beliau hadapi adalah kemarahan Malik suaminya yang baru saja pulang dari bepergian dan mendapati istrinya telah masuk Islam. Malik berkata dengan kemarahan yang memuncak, “Apakah engkau murtad dari agamamu?”. Maka dengan penuh yakin dan tegar beliau menjawab: ”Tidak, bahkan aku telah beriman”. Suatu ketika beliau menuntun Anas (putra beliau) sembari mengatakan: “Katakanlah La ilaha illallah.” (Tidak ada ilah yang haq kecuali Allah). Katakanlah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) kemudian Anas mau menirukannya. Akan tetapi ayah Anas mengatakan, “Janganlah engkau merusak anakku”. Maka beliau menjawab: “Aku tidak merusaknya akan tetapi aku mendidik dan memperbaikinya”. Perasaan gengsi dengan dosa-dosa menyebabkan Malik bin Nadlar menentukan sikap terhadap istrinya yang –menurutnya- keras kepala dan tetap ngotot berpegang kepada akidah yang baru, maka Malik tidak memiliki alternatif lain selain memberi khabar kepada istrinya bahwa dia akan pergi dari rumah dan tidak akan kembali hingga istrinya mau kembali kepada agama nenek moyangnya. Manakala Malik mendengar istrinya dengan tekad yang kuat karena teguh terhadap pendiriannya mengulang-ulang kalimat “Ashadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, maka Malik pergi dari rumah dalam keadaan marah dan kemudian bertemu dengan musuh sehingga akhirnya dia dibunuh. Ketika Ummu Sulaim mengetahui bahwa suaminya telah terbunuh, beliau tetap tabah mengatakan: “Aku tidak akan menyampih Anas sehingga dia sendiri yang memutusnya, dan aku tidak akan menikah sehingga Anas menyuruhku”. Kemudian Ummu Anas menemui Rasulullah yang dicintai dengan rasa malu kemudian beliau mengajukan agar buah hatinya, Anas dijadikan pembantu oleh guru manusia yang mengajarkan segala kebaikan. Rasulullah menerimanya sehingga sejuklah pandangan Ummu Sulaim karenanya. Kemudian orang-orang banyak membicarakan Anas bin Malik dan juga ibunya dengan penuh takjub dan bangga. Begitu pula Abu Thalhah mendengar kabar tersebut sehingga menjadikan hatinya cenderung cinta dan takjub. Kemudian dia beranikan diri melamar Ummu Sulaim dan menyediakan baginya mahar yang tinggi. Akan tetapi, tiba-tiba saja pikirannya menjadi kacau dan lisannya menjadi kelu tatkala Ummu Sulaim menolak dengan wibawa dan penuh percaya diri dengan berkata: “Sesungguhnya tidak pantas bagiku menikah dengan orang musyrik. Ketahuilah wahai Abu Thalhah bahwa tuhan-tuhan kalian adalah hasil pahatan orang dari keluarga fulan, dan sesungguhnya seandainya kalian mau membakarnya maka akan terbakarlah tuhan kalian”. Abu Thalhah merasa sesak dadanya, kemudian dia berpaling sedangkan dirinya seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah dia lihat dan dia dengar. Akan tetapi cintanya yang tulus mendorong dia kembali pada hari berikutnya dengan membawa mahar yang lebih banyak, roti maupun susu dengan harapan Ummu Sulaim akan luluh dan menerimanya. Akan tetapi Ummu Sulaim adalah seorang da`iyah yang cerdik yang tatkala melihat dunia menari-nari dihadapannya berupa harta, kedudukan dan laki-laki yang masih muda, dia merasakan bahwa keterikatan hatinya dengan Islam lebih kuat dari pada seluruh kenikmatan dunia. Beliau berkata dengan sopan: “Orang seperti anda memang tidak pantas ditolak, wahai Abu Thalhah, hanya saja engkau adalah orang kafir sedangkan saya adalah seorang muslimah sehingga tidak baik bagiku menerima lamarnmu”. Abu Thalhah bertanya: “lantas apa yang anda inginkan?”, beliau balik bertanya: “Apa yang saya inginkan?”. Abu Thalhah bertanya: “apakah anda menginginkan emas atau pera?”. Ummu Sulaim berkata: “Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas ataupun perak akan tetapi saya menginginkan agar anda masuk Islam”. “Kepada siapa saya harus datang untuk masuk Islam?”, tanya Abu Thalhah. Beliau berkata: “Datanglah kepada Rasulullah untuk itu!”. Maka pergilah Abu Thalhah untuk menemui Nabi yang tatkala itu sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Demi melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah bersabda: “Telah datang kepada kaliaan Abu Thalhah sedang sudah tampak cahaya Islam dikedua matanya”. Selanjutnya Abu Thalhah menceritakan kepada Nabi tentang apa yang dikatakan oleh Ummu Sulaim, maka da menikahi Ummu Sulaim dengan mahar keislamannya. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Ummu sulaim berkata: “Demi Allah! orang yang seperti anda tidak pantas untuk ditolak, hannya saja engkau adalah orang kafir sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta yang selain dari itu”. Sungguh ungkapan tersebut mampu menyentuh perasaan yang paling dalam dan mengisi hati Abu Thalhah, sungguh Ummu Sulaim telah bercokol dihatinya secara sempurna, dia bukanlah seorang wanita yang suka bermain-main dan takluk dengan rayuan-rayuan kemewahan, sesungguhnya dia adalah wanita cerdas, dan apakah dia akan mendapatkan yang lebih baik darinya untuk diperistri, atau ibu bagi anak-anaknya?”. Tanpa terAsa lisan Abu Thalhah mengulang-ulang: “Aku berada diatas apa yang kamu yakini, aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan Allah”. Ummu Sulaim lalu menoleh kepada putranya, Anas dan beliau berkata dengan suka cita karena hidayah Allah yang diberikan kepada Abu Thalhah melalui tangannya: “Wahai Anas! Nikahkanlah aku dengan Abu thalhah”. Kemudian beliaupun dinikahkan dengan Islam sebagai mahar. Oleh karena itulah Tsabit meriwayatkan hadits dari Anas : “Aku belum pernah mendengar seorang wanitapun yang paling mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam”. Ummu Sulaim hidup bersama Abu Thalhah dengan kehidupan suami-istri yang diisi dengan nilai-nilai Islam yang menaungi bagi kehidupan suami istri, dengan kehidupan yang tenang dan penuh kebahagiaan. Ummu Sulaim adalah profil seorang istri yang menunaikan hak-hak suami isteri dengan sebaik-baiknya, sebagaimana juga contoh terbaik sebagai seorang ibu, seorang pendidik yang utama dan seorang da`iyah. Begitulah Abu Thalhah mulai memasuki madrasah imaniyah melalui istrinya yang utama yakni Ummu Sulaim sehingga pada gilirannya beliau minum dari mata air nubuwwah hingga menjadi setara dalam hal kemuliaan dengan Ummu Sulaim. Marilah kita dengarkan penuturan Anas bin Malik yang menceritakan kepada kita bagaimana perlakuan Abu Thalhah terhadap kitabullah dan komitmennya terhadap al-Qur`an sebagai landasan dan kepribadian. Anas bin Malik berkata : “Abu Thalhah adalah orang yang paling kaya di kalangan Anshar Madinah, adapun harta yang paling disukainya adalah kebun yang berada di masjid, yang biasanya Rasulullah masuk ke dalamnya dan minum air jernih didalamnya. Tatkala turun ayat : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu nafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Q,.s. آli’ Imran: 92). Seketika Abu Thalhah berdiri menghadap Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam kitab-Nya (yang artinya), “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan sesungguhnya harta yang paling aku sukai adalah kebunku, untuk itu aku sedekahkan ia untuk Allah dengan harapan mendapatkan kebaikan dan simpanan di sisi Allah, maka pergunakanlah sesuka kamu, wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda : “Bagus …..bagus.. itulah harta yang menguntungkan…. Itulah harta yang paling menguntungkan…..aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku memutuskan agar engkau sedekahkan kepada kerabat-kerabatmu”. Maka Abu Thalhah membagi-bagikannya kepada sanak kerabat dan anak-anak dari pamannya. Allah memuliakan kedua suami-istri ini dengan seorang anak laki-laki sehingga keduanya sangat bergembira dan anak tersebut menjadi penyejuk pandangan bagi keduanya dengan pergaulannya dan tingkah lakunya. Anak tersebut diberi nama Abu ‘Umair. Suatu ketika anak tersebut bermain-main dengan seekor burung lalu burung tersebut mati. Hal itu menjadikan anak tersebut bersedih dan menangis. Pada waktu itu, Rasulullah melewati dirinya maka beliau berkata kepada anak tersebut untuk menghibur dan bermain dengannya: “Wahai Abu Umair! Apa yang dilakukan oleh anak burung pipit itu?”. Allah berkehendak untuk menguji keduanya dengan keduanya dengan seorang anak yang cakap dan dicintai, suatu ketika Abu Umair sakit sehingga kedua orang tuanya disibukkan olehnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi ayahnya apabila kembali dari pasar, pertama kali yang dia kerjakan setelah mengucapkan salam adalah bertanya tentang kesehatan anaknya, dan beliau belum merasa tenang sebelum melihat anaknya. Suatu ketika Abu Thalhah keluar ke masjid dan bersamaan dengan itu anaknya meninggal. Maka ibu Mu`minah yang sabar ini menghadapi musibah tersebut dengan jiwa yang ridla dan baik. Sang ibu membaringkannya ditempat tidur sambil senantiasa mengulangi kalimat: “Inna lillahi wa inna ilahi raji`un”. Beliau berpesan kepada anggota keluarganya: “Janganlah kalian menceritakan kepada Abu Thalha hingga aku sendiri yang menceritakan kepadanya”. Ketika Abu Thalhah kembali, Ummu Sulaim mengusap air mata kasih sayangnya, kemudian dengan bersemangat menyambut suaminya dan menjawab pertanyaannya seperti biasanya: “Apa yang dilakukan oleh anakku?”. Beliau menjawab: “dia dalam keadaan tenang”. Abu Thalhah mengira bahwa anaknya sudah dalam keadaan sehat, sehingga Abu Thalhah bergembira dengan ketenangan dan kesehatannya, dan dia tidak mau mendekat karena khawatir mengganggu ketenangannya. Kemudian Ummu Sulaim mendekati beliau dan mempersiapkan malam baginya, lalu beliau makan dan minum sementara Ummu Sulaim bersolek dengan dandanan lebih cantik daripada hari-hari sebelumnya, beliau mengenakan baju yang paling bagus, berdandan dan memakai wangi-wangian, kemudian keduanyapun berbuat sebagai mana layaknya suami istri. Tatkala Ummu Sulaim melihat bahwa suaminya sudah kenyang dan mencampurinya serta merasa tenang dengan keadaan anaknya maka beliau memuji Allah karena tidak membuat risau suaminya dan beliau biarkan suaminya terlelap dalam tidurnya. Tatkala diakhir malam beliau berkata kepada suaminya: “Wahai Abu Thalhah! bagaimana pendapatmu seandainya suatu kaum menitipkan barangnya kepada suatu keluarga kemudian suatu ketika mereka mengambil titipannya tersebut, maka bolehkah bagi keluarga tersebut untuk menolaknya?”. Abu Thalhah menjawab: “Tentu saja tidak boleh”. Kemudian Ummu Sulaim berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu jika keluarga tersebut berkeberatan tatkala titipannya diambil setelah dia sudah dapat memanfaatkannya?”. Abu Thalhah berkata: “Berarti mereka tidak adil”. Ummu Sulaim berkata: ”Sesunggguhnya anakmu titipan dari Allah dan Allah telah mengambilnya, maka tabahkanlah hatimu dengan meninggalnya anakmu”. Abu Thalhah tidak kuasa menahan amarahnya, maka beliau berkata dengan marah: “kau biarkan aku dalam keadaan seperti ini baru kamu kabari tentang anakku?”. Beliau ulang-ulang kata-kata tersebut hingga beliau mengucapkan kalimat istirja` (Inna lillahi wa inna ilahi raji`un) lalu bertahmid kepada Allah sehingga berangsur-angsur jiwanya menjadi tenang. Keesokan harinnya beliau pergi menghadap Rasulullah dan mengabarkan kapada Rasulullah tentang apa yang terjadi, kemudian Rasulullah bersabda: “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua”. Mulai hari itulah Ummu Sulaim mengandung seorang anak yang akhirnya diberi nama Abdullah. Tatkala Ummu Sulaim melahirkan, beliau utus Anas bin Malik untuk membawanya kepada Rasulullah selanjutnya Anas berkata: “Wahai Rasulullah, bahwasanya Ummu Sulaim melahirkan tadi malam”. Maka Rasulullah mengunyah kurma dan mentahnik bayi tersebut (menggosokan kurma yang telah dikunyah ke langit-langit mulut si bayi). Anas berkata: “Berilah nama baginya, wahai Rasulullah!”. Beliau bersabda: “namanya Abdullah” . Ubbabah, salah seorang rijal sanad berkata: “Aku melihat dia memiliki tujuh anak yang kesemuanya hafal al-Qur`an”. Diantara kejadian yang mengesankan pada diri wanita yang utama dan juga suaminya yang mukmin adalah bahwa Allah menurunkan ayat tentang mereka berdua dimana umat manusia dapat beribadah dengan membacanya. Abu Hurairah berkata: “Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah dan berkata: “Sesungguhnya aku dalam keadaan lapar”. Maka Rasulullah menanyakan kepada salah satu istrinya tentang makanan yang ada dirumahnya, namun beliau menjawab: “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa kecuali hanya air, kemudian beliau bertanya kepada istri yang lain, namun jawabannya tidak berbeda. Seluruhnya menjawab dengan jawaban yang sama. Kemudian Rasulullah bersabda: “Siapakah yang akan menjamu tamu ini, semoga Allah merahmatinya”. Maka berdirilah salah seorang Anshar yang namanya Abu Thalhah seraya berkata: “Saya wahai Rasulullah”. Maka dia pergi bersama tamu tadi menuju rumahnya kemudian sahabat Anshar tersebut bertanya kepada istrinya (Ummu Sulaim): “Apakah kamu memiliki makanan?”. Istrinya menjawab: “Tidak punya melainkan makanan untuk anak-anak”. Abu Thalhah berkata: ”Berikanlah minuman kepada mereka dan tidurkanlah mereka. Nanti apabila tamu saya masuk maka akan saya perlihatkan bahwa saya ikut makan, apabila makanan sudah berada di tangan maka berdirilah. Mereka duduk-duduk dan tamu makan hidangan tersebut sementara kedua sumi-istri tersebut bermalam dalam keadaan tidak makan. Keesokan harinya keduanya datang kepada Rasulullah lalu Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah takjub (atau tertawa) terhadap fulan dan fulanah”. Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda: “Sungguh Allah takjub terhadap apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian” . Di akhir hadits disebutkan: “Maka turunlah ayat (artinya): “Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” (Q,.s. al-Hasyr :9). Abu Thalhah tidak kuasa menahan rasa gembiranya, maka beliau bersegera memberikan khabar gembira tersebut kepada istrinya sehingga sejuklah pandangan matanya karena Allah menurunkan ayat tentang mereka dalam al-Qur`an yang senantiasa dibaca. Ummu Sulaim tidak hanya cukup menunaikan tugasnya untuk mendakwahkan Islam dengan penjelasan saja, bahkan beliau antusias untuk turut andil dalam berjihad bersama pahlawan kaum muslimin. Tatkala perang Hunain tampak sekali sikap kepahlawanannya dalam memompa semangat pada dada mujahidin dan mengobati mereka yang luka. Bahkan beliau juga mempersiapkan diri untuk melawan dan menghadapi musuh yang akan menyerangnya. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya dan Ibnu Sa`ad di dalam Thabaqat dengan sanad yang shahih bahwa Ummu Sulaim membawa badik (pisau) pada perang Hunain kemudian Abu Thalhah berkata: “Wahai Rasulullah! ini Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah apabila ada orang musyrik yang mendekatiku maka akan robek perutnya dengan badik ini”. Anas berkata: “Rasulullah berperang bersama Ummu Sulaim dan para Wanita dari kalangan Anshar, apabila berperang, para wanita tersebut memberikan minum kepada mujahidin dan mengobati yang luka”. Begitulah Ummu Sulaim memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rasulullah, beliau tidak pernah masuk rumah selain rumah Ummu Sulaim bahkan Rasulullah telah memberi khabar gembira bahwa beliau termasuk ahli surga. Beliau bersabda : “Aku masuk ke surga, tiba-tiba mendengar sebuah suara, maka aku bertanya: “Siapa itu?”. Mereka berkata: “Dia adalah Rumaisha` binti Malhan ibu dari Anas bin Malik”. Selamat untukmu wahai Ummu Sulaim, karena anda memang sudah layak mendapatkan itu semua, engkau adalah seorang istri shalihah yang suka menasehati, seorang da`iyah yang bijaksana, seorang pendidik yang sadar sehingga memasukkan anaknya ke dalam madrasah nubuwwah tatkala berumur sepuluh tahun yang pada gilirannya beliau menjadi seorang ulama diantara ulama Islam, selamat untukmu…..selamat untukmu… (Diambil dari buku Mengenal Shahabiah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sedikit perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN, Hal. 204)



sumber :

Aminah binti Wahab (subhanallah , Cinta dan Perjuangan ibunda Rasulullah SAW)













Sudah menjadi ketetapan Allah swt. bahwasanya Nabi Muhammad saw. berasal dari keturunan silsilah yang terjaga dengan baik, terhormat, tidak ternoda oleh perbuatan rendah dan nista. Mulai dari silsilah yang teratas hingga yang terbawah, beliau berasal dari keturunan yang terbaik. Pada pertengahan abad ke enam Masehi, sejarah mencatat kemunculan sebuah keluarga yang bernama Bani Zuhrah dari kabilah Quraisy, satu-satunya kabilah yang memikul tanggung jawab mulia atas pengelolaan Ka’bah. “Allah senantiasa memindahkan diriku dari tulang-tulang sulbi yang baik ke dalam rahim-rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku berada di dalam yang terbaik dari dua tulang sulbi itu”. (Hadits Syarif). Dari keluarga Bani Zuhrah inilah muncul seorang wanita mulia yang dijuluki Melati Zuhrah bernama Siti Aminah binti Wahab, ibunda Nabi Muhammad saw. Suatu kehormatan yang dianugerahkan Allah swt. kepada seorang hambaNya, yang memahkotai Bani Zuhrah dan kabilah Quraisy, dimana dalam rahimnya akan disemayamkan janin suci calon manusia terbesar sepanjang sejarah ummat manusia. Seorang ahli sejarah Islam bernama Ibnu Ishaq mengatakan bahwa pada masa mudanya Siti Aminah binti Wahab adalah gadis Quraisy yang paling utama, baik karena asal keturunannya maupun dilihat dari kedudukannya. Sebelum memasuki ‘masa pingitan’ gadis remaja, Aminah mempunyai beberapa teman bermain, antara lain putera pamannya sendiri bernama Abdullah bin Abdul Mutthalib, mereka sering bermain kejar-kejaran disekitar halaman Ka’bah. Ketika tumbuh sebagai seorang pemuda tampan Abdullah tidak termasuk anak muda Makkah yang mengharapkan dapat meperisteri Aminah. Hal ini mengherankan wanita itu karena sudah ada beberapa keluarga yang berusaha mendekati orang tuanya tapi tidak terdapat utusan yang diharapkannya, utusan Abdul Mutthalib, orang tua pemuda yang selalu mengingatkannya pada masa kanak-kanaknya sewaktu bermain di dekat Ka’bah. Sebenarnya Abdullah yang dinilai orang paling layak dan sepadan untuk menjadi pasangan Aminah karena kedudukan orang tuanya dan penampilan fisik serta kekuatan kepribadiannya. Beberapa keluarga dari kabilah di Makkah yang mempunyai anak muda diam-diam bersaing untuk memperoleh simpati dari Bani Zuhrah agar bisa lebih dekat pada mereka, tapi tidak satupun dari mereka yang mampu menyentuh hati Siti Aminah melati Bani Zuhrah. Kadang-kadang terlintas hasrat hatinya untuk bertemu dengan teman sepermainannya dulu, tapi kesadarannya sebagai seorang gadis yang sedang dalam pingitan dia harus menjaga kehormatan diri dan martabat keluarganya, tidak mungkin baginya untuk mengundang bertandang ke rumahnya siapa yang dikehendakinya apalagi keluar rumah menampakkan diri di hadapan orang banyak. Sebagai gadis cerdas dan terhormat, Aminah menyadari aturan etika yang diterapkan sejak jaman nenek-moyangnya dahulu, yang dimaksudkan untuk menjaga keselamatan dan kehormatan wanita Quraisy, bukannya dimaksudkan untuk mengekang kebebasan memilih pasangan atau bergaul. Nadzar yang nyaris menelan korban Abdullah adalah putera bungsu Abdul Mutthalib dari sepuluh anaknya yang kesemuanya laki-laki, yang kelak dikemudian hari menjadi ayah dari seorang utusan Allah, Nabi terbesar dan terakhir hingga akhir zaman, Muhammad Rasulullah saw. Abdul Mutthalib bin Hasyim sebagai penguasa Makkah dan pengelola sumur Zamzam, dikenal orang karena kewibawaan dan kebijaksanaannya. Dia dihormati dan dipatuhi tidak hanya karena secara formal diakui sebagai ketua kota, tapi disegani dan dicintai karena sikapnya yang konsekwen dan dapat dipercaya. Tidak diduga bahwa sikap positipnya tersebut beberapa puluh tahun kemudian mengakibatkan putera bungsu yang disayanginya, Abdullah, nyaris menjadi korban nadzar yang pernah diucapkannya dihadapan orang banyak. Adalah suatu kebanggaan bangsa Arab, khususnya keluarga Quraisy, pada waktu itu bila seorang ayah mempunyai banyak anak laki-laki sebagai lambang pewaris keperkasaan dan kemuliaan. Mereka malu dan merasa kurang berarti bila isterinya melahirkan anak perempuan, sehingga ada tradisi sesat mengubur bayi perempuan yang baru dilahirkan Abdul Mutthalib pada waktu itu bernadzar kepada Allah, bila dia dikaruniai sepuluh anak laki-laki maka salah seorang daripadanya akan dikorbankan. Sebenarnya penduduk Makkah sudah melupakan nadzarnya yang sudah berumur puluhan tahun itu, namun sebagai orang yang selalu menepati janji, Abdul Mutthalib tidak akan mengingkari janji besar berupa nadzar yang dengan penuh kesadaran pernah diucapkannya. Pada masa itu masyarakat Arab mempunyai keyakinan bahwa setiap nadzar harus dipenuhi bila yang dinadzarkan sudah tercapai meskipun seandainya hal itu berakibat buruk pada dirinya atau keluarganya. Mereka berpandangan tidak memenuhi nadzar yang telah diikrarkan berarti mengingkari janji kepada Allah selain akan berakibat menurunnya martabat yang bersangkutan dihadapan masyarakat. Terlebih bila yang mengucapkan nadzar seorang pemimpin masyarakat seperti Abdul Mutthalib yang berarti mempertaruhkan kehormatan dan kemuliaan sebagai penguasa Makkah dan pengelola Ka’bah. Ketika saat yang ditentukan Abdul Mutthalib tiba, dia membawa kesepuluh anaknya ke Ka’bah, dimana salah seorang diantaranya akan dikorbankan, mereka itu adalah Al Harits, Zubair, Abu Thalib, Abu Lahab, Ghaidaq, Dhirar, Abbas, Abdul Ka’bah, Qatsam dan Abdullah. Berbondong-bondong penduduk Makkah datang ke Ka’bah ingin menyaksikan prosesi pengorbanan anak Abdul Mutthalib. Sebagian besar dari mereka sebenarnya tidak menyetujui pelaksanaan nadzar tersebut, tapi keseganan pada pemuka Makkah ini membuat mereka tidak berani mengajukan alternatip solusi pemenuhan janji besarnya tersebut. Para wanita Makkah dengan gelisah menanti di rumah menunggu berita dari suami atau anak lelakinya kesudahan drama pengorbanan keluarga terpandang yang mereka hormati dan cintai. Demikian halnya Siti Aminah, hatinya terus berdebar-debar membayangkan kejadian yang sangat mengerikan dimana Abdullah, pemuda yang diam-diam dicintainya terkapar di atas tanah tempat mereka dahulu bermain kejar-kejaran dengan darah membasahi sekujur tubuhnya. Ingin rasanya melupakan dan menghilangkan bayang-bayang kejadian yang menakutkan itu, sejenak hilang tapi kemudian muncul lagi, berulang kembali mengganggu hati dan pikirannya. Sambil menunggu berita dia berjalan mondar-mandir, sebentar duduk, dicoba berbaring sambil memejamkan mata tapi semakin jelas khayalan terbayang dipelupuk matanya. Perlahan terucap dari bibirnya: “Ya Allah, selamatkan dia . . . . . . . selamatkan dia, dia hambaMu, dia milikMu, bukan milik Abdul Mutthalib!” Sementara di dekat Ka’bah Abdul Mutthalib membawa kesepuluh anaknya melewati kerumunan orang banyak ke dekat berhala Isaf dan Nayilah. Semua yang menyaksikan terdiam, puluhan pasang mata menatap cemas pada sepuluh remaja yang mengikuti langkah ayahnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Penjaga Ka’bah yang telah siap melaksanakan undian menantikan perintah dari Abdul Mutthalib yang sedang menundukkan kepala bertafakur tidak bergerak, wajahnya nampak tertekan mencoba mengatasi konflik bathin yang sangat hebat, yang belum pernah dialami sepanjang hayatnya, bahkan di seluruh kawasan Makkah tidak seorangpun yang berani melontarkan nadzar senekad itu sebelumnya. Angin gurun mulai meniup membawa udara panas, menerbangkan pasir dan butir-butir kerikil melewati mereka yang berada di dekat Ka’bah. Keringat Abdul Mutthalib nampak membasahi baju di bagian punggung dan keningnya, ketegangan semakin kuat bersama degup jantung yang semakin cepat dan tidak teratur, tapi pilihan harus segera diambil antara kehormatan memenuhi janji nadzar dengan bayangan anaknya menghadapi sakaratul maut dengan berlumuran darah dipangkuannya. Ditengah-tengah suasana yang semakin mencekam tiba-tiba Abdul Mutthalib berteriak: “Laksanakan undian!” Juru kunci Ka’bah segera melaksanakan perintahnya, dengan gemetar dia mengocok undian yang menentukan nasib mati hidup seseorang, siapakah yang nyawanya bakal melayang di tangan ayahnya sendiri. Bagaimanapun juga juru kunci harus melaksanakan tugasnya, dalam hatinya dia berbisik: “Seandainya saya dahulu tidak menerima amanat sebagai juru kunci Ka’bah!” Dengan suara yang dipaksakan keluar dari tenggorokkan dia menyebutkan nama: “Ab . . . . dullah!” Bergetar hati semua orang yang hadir, ada yang tidak percaya apa yang baru didengarnya, tergetar perasaannya lemah lunglai sekujur tubuhnya. Mendengar nama anak bungsu kesayangannya disebutAbdul Mutthalib merasakan seolah-olah tanah yang dipijaknya bergerak-gerak terkena gempa, terlihat olehnya bangunan Ka’bah, wajah anak-anaknya dan orang-orang didekatnya nampak berputar-putar tanpa arah. Dia mencoba berusaha keras mengatasi goncangan bathinnya, ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap Abdul Mutthalib yang perkasa, dihormati sebagai pemimpin yang tangguh, konsekwen dalam menepati janjinya. Kini muncul dipermukaan sifat egosentrisnya, apakah ada hal yang lebih memalukan dari pada kehilangan martabat, kedudukan dan kemuliaan, bukankah kasih sayang pada anak bagian hati wanita. Serta merta ia menghampiri Abdullah, diseretnya anak tersebut ke dekat telapak kaki berhala Isaf dan Nayilah, sementara tangan kanannya yang kokoh memegang golok tajam yang mengkilat. Abdul Mutthalib benar-benar hendak melaksanakan nadzar buruk yang disertai kekejian tersebut, tapi Allah Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Tiba-tiba sekelompok orang yang tadinya terpaku diam maju ke depan mendekati Abdul Mutthalib, dengan nada memprotes mereka berkata: “Hai Abdul Mutthalib, apakah sesungguhnya yang hendak kau lakukan!” Dia menjawab lantang: “Aku hendak memenuhi nadzarku!” Kelompok orang-orang nampak semakin bangkit keberaniannya, mereka menyahut dengan suara keras: “Tidak, kau tidak boleh menyembelih anakmu sendiri hanya karena nadzar. Kalau hal itu kau lakukan, perbuatan seperti itu akan ditiru oleh orang-orang Makkah, bagaimana kalau hal itu berlangsung terus”. Seorang diantara mereka yang bernama Al Mughirah melangkah ke depan langsung memegang tangan Abdul Mutthalib yang mencengkeram golok sambil berteriak: “Demi Allah, jangan teruskan niatmu ini. Kalau nadzar ini harus ditebus dengan harta dan perhiasan, kami bersedia mengumpulkan tebusan itu”. Beberapa pemuka Quraisy lainnya menyampaikan alternatip penyelesaian: “Berangkatlah bersama anakmu itu ke Khaibar, disana ada orang pintar yang terkenal, bertanyalah padanya, apakah nadzarmu itu harus dipenuhi atau dapat diganti dengan tebusan”. Saran tersebut ternyata mempengaruhi logika dan hati nuraninya yang akhirnya menyadarkan dirinya atas kebodohan nadzar yang pernah diucapkannya tiga puluh tahun yang lalu. Pada dasarnya Abdul Mutthalib adalah tipe pemimpin yang suka bermusyawarah, bukan orang yang berkepribadian otoriter mempertahankan pendirian dan keputusan tanpa bersedia mendengarkan pendapat masyarakat yang dipimpinnya. Maka berangkatlah dia ke Khaibar untuk menemui orang pintar tersebut. Ternyata orang tersebut memutuskan agar nyawa Abdullah diganti dengan seratus ekor unta sebagai tebusan nadzarnya. Keputusan ini sangat melegakan hatinya, inilah harapan sesungguhnya dari nurani seorang ayah yang mencintai anak-anaknya, seorang pemimpin yang tidak mau kehilangan martabat dan wibawanya dimata penduduk Makkah yang menghormati dan mencintainya. Pernikahan dan perpisahan pengantin baru Berita terlepasnya Abdullah dari cengkeraman maut nadzar ayahnya segera tersiar keseluruh Makkah dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa menegangkan di dekat Ka’bah. Mereka terus berusaha memperoleh informasi berikutnya yang datang dari Khaibar yang menceriterakan ditebusnya nyawa Abdullah dengan seratus ekor unta. Berita gembira ini disambut Aminah dengan rasa syukur yang tiada terkira, dimana pemuda tampan yang diam-diam dikaguminya telah selamat dari pembantaian ayah kandungnya sendiri. Ibu Aminah yang bernama Barrah binti Abdul Uzza menjelaskan kejadian yang dialami Abdullah sejak Abdul Mutthalib membawa kesepuluh anaknya ke Ka’bah hingga saat-saat menegangkan sewaktu hasil undian diumumkan sampai kata putus akhir dari orang pintar yang tinggal di Khaibar. Ibunya terus memperhatikan perubahan raut wajah anak gadisnya yang kelihatan sangat berminat mendengar ceritera tentang keselamatan Abdullah, tapi kepekaan hati Aminah menangkap apa yang diraba ibunya sehingga dengan bijaksana dia berusaha menyembunyikan perasaannya. Suasana yang sejenak hening karena keduanya terdiam tiba-tiba berubah karena kedatangan Wahab bin Abdu Manaf, ayah Aminah membawa berita yang mendebarkan hati puterinya. “Pemimpin Bani Hasyim (Abdul Mutthalib) datang melamarmu untuk dinikahkan dengan puteranya yang bernama Abdullah”. Mereka berdua terdiam, tapi nampak perubahan pada wajah Aminah meskipun berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Segera para wanita Bani Zuhrah berdatangan untuk menyampaikan ucapan selamat pada Aminah dan ibunya, mereka bercakap-cakap penuh kegembiraan, salah seorang diantaranya menceriterakan bahwasanya ada seorang wanita bernama Ruqayyah binti Naufal pernah menawarkan seratus ekor unta sebagai pengganti unta tebusan nadzar kepada Abdullah bila dia bersedia menerima wanita itu sebagai isterinya. Abdullah menjawab: “Aku selalu bersama ayahku, aku tidak mau menentang kemauannya dan tidak pula bermaksud meninggalkannya”. Seorang ahli sejarah bernama Doktor Muhammad Husain Haikal berpendapat: “Baginya cukup dikatakan bahwa Abdullah adalah pemuda tampan yang berkepribadian, karena itu tidak mengherankan kalau banyak wanita selain Siti Aminah yang ingin dipersunting sebagai isteri Abdullah. Tetapi setelah ia menikah dengan Aminah putuslah harapan mereka”. Sesuai tradisi pernikahan masyarakat Quraisy, Abdullah tinggal tiga hari tiga malam dirumah mertuanya, dan pada hari keempat dan seterusnya Aminah harus mengikuti Abdullah untuk tinggal di rumah Abdul Mutthalib, berada ditengah-tengah keluarga Bani Hasyim. Suatu pagi ketika baru bangun dari tidur Aminah menceriterakan mimpi yang dialaminya kepada suaminya. Ia menceriterakan melihat sinar yang terang benderang memancar dari dirinya sehingga nampak istana Bushara di negeri Syam. Tiada berapa lama terdengarlah suara menggema yang ditujukan kepadanya: “Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia dari ummat ini”. Sudah menjadi kebiasaan laki-laki Quraisy meninggalkan keluarganya untuk bergabung dengan kafilah dagang selama berbulan-bulan. Demikian halnya dengan Abdullah yang baru beberapa bulan melangsungkan pernikahannya dengan Aminah, dia harus berpisah dengan isterinya yang mulai terasa kehamilannya. Pada suatu malam antara jaga dan tidur sambil membayangkan perjalanan suaminya, terdengar suara seseorang yang bertanya: “Apakah engkau merasa telah hamil?” Dia menjawab:”Aku tidak tahu”. Suara itu muncul kembali: “Tidak tahukah kamu bahwa bayi yang berada dalam kandunganmu itu adalah orang termulia dan dia seorang Nabi!” Perjalanan kafilah dagang Abdullah kini sudah memasuki bulan kedua berarti sebentar lagi mereka akan tiba di Makkah. Benar, suatu pagi terlihat iring-iringan unta dari kejauhan mendekat kota, mereka tidak lain adalah kafilah Quraisy yang datang dari negeri Syams. Bagi Aminah jalannya kafilah terasa amat lambat, hatinya gelisah ingin segera melihat wajah suaminya, makin lama rombongan semakin mendekat, terdengar suara hiruk pikuk menyambut kedatangannya. Dicarinya Abdullah diantara kerumunan orang yang berjalan kian kemari, tapi tidak diketemukannya, mungkinkah dia mampir ke Ka’bah terlebih dahulu untuk thawaf menyatakan rasa syukur atas keberhasilannya? Keramaian semakin berkurang, suasana di sekitar tempat tinggal Bani Hasyim semakin sepi, perlahan terdengar langkah orang yang mendekatinya. Mereka adalah ayah Aminah dan mertuanya Abdul Mutthalib yang memberitahukan bahwa Abdullah belum bisa pulang karena menderita sakit yang kini sedang dirawat oleh kerabat ibunya Bani Makhzum di dekat Yatsrib. Untuk mengetahui perkembangan kesehatan Abdullah, Abdul Mutthalib menyuruh anak sulungnya bernama Al Harits ke Yatsrib. Selang beberapa hari dia sudah pulang kembali ke Makkah sendirian dan membawa khabar yang mengejutkan bahwa Abdullah sudah wafat, jenasahnya dimakamkan disana. Berhari-hari Aminah menanggung kepedihan, sementara badannya semakin lemah karena kehilangan gairah hidup, sulit tidur dan tidak ada nafsu makan atau minum. Tapi lambat laun muncul kesadarannya bahwa bayi dalam kandungannya memerlukan asupan makanan dari ibunya, maka dikuatkannya dirinya untuk berjuang hidup demi janin dalam rahimnya. Semangatnya mulai pulih kembali tatkala dia ingat mimpinya bahwa dia sedang mengandung seseorang yang mulia, bahkan seorang Nabi! Kemauannya bangkit untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah wanita egois, akan diperlihatkan pada orang-orang Bani Hasyim bahwa dia adalah keturunan Bani Zuhrah yang mampu mengatasi kesedihan dan kemalangan dengan ketabahan demi kehormatan keluarga dan dirinya sendiri. Belum selesai dia berusaha mengembalikan kepercayaan dirinya datang cobaan berikutnya, dimana seluruh penduduk kota harus mengungsi ke bukit-bukit batu di sekitar Makkah karena akan ada serangan dari pasukan gajah dibawah pimpinan raja Abrahah. Bagi orang laki-laki menaiki dan menuruni bukit batu terjal yang berada di pinggiran kota Makkah bukanlah masalah besar, tapi bagaimana dengan dirinya yang masih dalam keadaan lemah harus melakukan hal itu bersama bayi dalam kandungannya yang semakin membesar. Aminah tidak memahami apa maksud Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah selain yang didengarnya bahwa panglima Abrahah telah mempermalukan dirinya dengan merampas 200 ekor unta milik mertuanya Abdul Mutthalib yang melarang kabilah Quraisy untuk mengadakan perlawanan karena kekuatan yang tidak seimbang. Tanpa diketahuinya ternyata dia bersama pembantunya Barakah Ummu Aiman telah ditinggal semua penghuni rumah pergi mengungsi ke bukit. Untunglah menjelang matahari terbenam datanglah seseorang yang memberitahukan bahwa Abrahah dan pasukan Habasyah telah dihancurkan Allah sebelum mereka menghancurkan Ka’bah. Selang beberapa puluh hari penduduk Makkah mendengar kabar gembira bahwa Aminah binti Wahab telah melahirkan seorang putera saat menjelang fajar yang menurut perhitungan jatuh pada hari Senin tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal tahun Gajah. Pada pagi harinya dia menyuruh pembantunya memberitahu Abdul Mutthalib bahwa cucu yang dinantikannya telah lahir dengan selamat. Dialah Muhammad saw. yang akan menyinari dunia dengan cahaya Nur Illahi sepanjang masa hingga yaumal Qiyamah, manusia paling mulia, tiada Nabi sesudahnya. Allahu Akbar! (Sumber: “Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.” dan Lain-lain.)


sumber : http://kisahberibuhikmah.blogspot.com/2010/03/siti-aminah.html